Halaman

Kamis, 27 Oktober 2011

SERANGGA YANG MENDATANGI NYALA API

Hendaknya engkau yakin, bahwa Allah ta’Ala menjamin rejeki apa saja yang melata di bumi. Hanya orang bodoh saja yang meragukan jaminan Allah atas kehidupan mahluk-Nya.

Saudaraku, berhati-hatilah kalian terhadap keduniaan. Jangan engkau mengumpulkan harta yang tidak dapat engkau syukuri, seperti tikus yang membawa apa saja yang tidak berguna ke dalam sarangnya. Sungguh peradaban semacam itu lebih cepat membawamu pada kehancuran. Ketololan macam apa yang membuatmu mendewakan modernisme sebagai kultur jempolan?



Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA MicrosoftInternetExplorer4

Ingatlah wasiat Nabiyullah SAW, bahwa cinta harta dan kedudukan menumbuhkan kemunafikan dalam qalbu, sebagaimana air menumbuhkan sayuran. Cinta duniawi adalah pangkal segala kerusakan. Ketahuilah bahwa tiada harta bagimu kecuali apa yang engkau makan lalu hilang, apa yang engkau pakai lantas usang dan apa yang engkau sedekahkan kemudian menjadi pahala bagimu selamanya.

Engkau telah saksikan, banyak orang hilang akal karena menuruti hawa nafsu. Banyak orang salah jalan karena ambisi-ambisi duniawi. Jadilah kalian orang yang cerdas. Bedakanlah mana yang merupakan kebutuhanmu dan mana yang merupakan tuntutan keinginanmu. Ketahuilah olehmu, bahwa kefakiran disebabkan berjubelnya keinginan dalam diri seseorang. Sedang kekayaan terletak pada kesadaran atas apa yang dia butuhkan.

Jangan engkau bersusah payah dengan urusan yang telah dijaminkan Allah untukmu. Kerakusanmu tidak sedikitpun punya andil menambah pundi-pundi hartamu. Engkau hanya akan menerima apa yang menjadi jatahmu. Engkau tidak akan pernah mendapatkan apa yang bukan hak-mu. Sungguh urusan rejeki ini begitu mengkhawatirkan. Ia telah merubah arah kiblat banyak orang!

Orang yang beriman tidak akan pernah risau ihwal makanan, pakaian dan tempat tinggal. Mereka selalu menjaga agar pekerjaan tidak melenakan dari apa yang Allah perintahkan. Bekerja adalah ibadah, itu benar adanya! Namun, jika pekerjaan membuat engkau melupakan tujuan penciptaan, jelas semua itu datang dari setan. Allah berwasiat dalam kitab-Nya: bagi siapa saja yang menginginkan dunia, niscaya Dia akan memberinya. Namun ketahuilah bahwa tiada bagian akhirat sedikitpun untuknya.

Sahabatku, janganlah engkau seperti orang-orang bodoh yang menguras tenaga dan menghabiskan waktunya guna berburu dunia. Mereka khawatir tidak akan mencapai cita-cita jika berleha-leha. Tapi lihatlah, kerja keras yang mereka lakukan telah membuat mereka layaknya siput yang terbelenggu cangkang-cangkang dunia.

Ya, Nabiyullah! Apa yang dapat aku lakukan untuk umatmu? Mereka kini telah mengingkari janji-janji Azali. Mereka meremehkan jaminan Allah dalam pengurusan rejeki.

Saudaraku, ketahuilah bahwa Allah akan menyerahkan urusan rejeki mahluknya pada setan, jika mereka tak lagi percaya pada pengaturan-Nya. Semakin keras seseorang berusaha, makin lalai ia dari mengingat Allah. Semakin bertambah hartanya, semakin berkurang ibadahnya. Itulah tanda orang dalam genggaman pengaturan setan. Mereka bangkrut dan merugi dalam urusan ukhrawi.

Tanamkan dalam qalbumu, bahwa Allah-lah sebaik-baik penjamin hidupmu. Dia-lah satu-satunya Zat yang tidak pernah ingkar janji. Apa yang Allah tentukan untukmu akan sampai padamu. Apa yang tidak Dia tentukan untukmu tak akan pernah sampai padamu. Entah engkau berusaha atau tidak. Entah engkau sosok pekerja atau pengangguran.

Engkau hanya perlu menjaga adab di hadapan Yang Maha Mulia. Bahwa ada hukum sebab-akibat, itulah yang menjadi landasan buatmu untuk lebih giat bekerja. Dan bahwa urusan rejekimu dalam kesempurnaan pengaturan-Nya, seharusnya itu yang selalu menjadi pondasimu untuk selalu berada di jalan-Nya.

”Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap.”

Yang dimaksud ayat itu adalah jika engkau telah selesai dari urusan dunia, maka beribadahlah dengan penuh keikhlasan. Lantas, serahkanlah segala sesuatunya dari amal dan usahamu pada pengaturan Tuhan.

۞

Sahabat-sahabatku, janganlah engkau beranjak dahulu! Pahamilah ihwal rejeki yang berlaku di kalangan orang-orang awam ini. Rejeki duniawi yang membuat manusia salah arah. Kini tiba saat bagiku memberitahumu, perihal rejeki yang berlaku bagi para Wali dan orang-orang yang hatinya bersih terberkati.

Ketahuilah, bahwa para Ahli hikmah tidak pernah merisaukan urusan rejeki duniawi. Mereka hanya mendamba rejeki-rejeki ukhrawi. Para Al ‘Arif Billah merumuskan rejeki jenis ini dalam empat hal. Jika seseorang diberi ke-empat hal itu, maka tak terhalang darinya empat hal yang menyertainya.

Ihwal pertama, siapa yang dikehendaki Allah diberi rejeki berupa pertolongan untuk berdoa, maka orang itu tiada terhalang dari keterkabulan Zat Yang Maha Memberi.

Allah berwasiat, Mintalah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan permintaanmu.

Namun ingatlah pesanku, jika engkau meminta sesuatu, Allah bisa memberi lebih cepat dari ucapan doamu. Dia juga berkuasa menunda pengabulan apa yang engkau pintakan. Dia juga bisa memberi yang lebih baik dari yang engkau harapkan. Dia juga berhak tidak memberimu apa-apa, demi sempurnanya kedudukanmu di sisi-Nya kelak.

Jangan engkau bosan meminta, sebab bisa jadi Allah sangat menyukai merdunya suara munajatmu. Jangan pernah berhenti berdoa, sebab bisa jadi terhentinya permohonanmu merupakan tanda tiadanya hak bagimu atas keinginanmu.

Ihwal yang ke-dua, barang siapa diberi rejeki oleh Allah dalam bentuk istighfar, ia tidak terhalang dari ampunan Zat Yang Maha Mengampuni.

Ingatlah bahwasannya manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Hanya Nabi Yang Sempurna yang bisa luput dari kesalahan dan dosa. Rasullullah berwasiat agar kita senantiasa memetik buah ilmu, yakni takut kepada Allah. Beliau juga bersabda bahwa takut akan dosa itu membakar syahwat, seperti api membakar alang-alang. Jika Munajat mencegah manusia dari merasa cukup akan bantuan Allah, maka Istighfar mengajari manusia untuk rendah hati di hadapan-Nya.

Perihal ke-tiga, siapa saja yang diberi rejeki berupa rasa syukur, maka ia tidak terhalang dari tambahan nikmat. Sebagaimana firman-Nya, Seandainya kalian bersyukur, sungguh akan Aku tambah nikmat itu untuk kalian.

Ingatlah, syukurmu menunjukkan siapa dirimu, siapa Tuhanmu. Nabiyullah SAW adalah pribadi yang paling mulia karena rasa syukurnya. Beliau selalu berdoa agar menjadi hamba yang paling bersyukur di antara hamba-hamba-Nya. Beliau bersabda bahwa, Al Hamd adalah pakaian Ar Rahman. Dan orang-orang yang bersyukur berada di bawah panji-panji Al Hamadun (orang yang selalu bersyukur) di hari kemudian. Rasulullah juga berwasiat agar kita mengumpulkan hati yang selalu bersyukur sebagi ganti mengumpulkan harta.

Perihal ke-empat, siapa yang diberi rejeki oleh Allah berupa tobat, orang tersebut tidak terhalang dari kembali. Sungguh, Allah Maha Penerima Tobat. Dia sangat menyukai orang-orang yang kembali.

Ketahuilah bahwa fitrah manusia adalah sebagai ahli surga. Jika dosa karena maksiat menjauhkan manusia dari fitrahnya, maka tobat adalah satu-satunya jalan untuk kembali. Nabiyullah SAW bersabda, bahwa orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah. Orang yang bertobat dari dosa bagaikan orang yang tidak mempunyai dosa. Beliau juga bersabda, bahwa penyesalan adalah tebusan dari dosa. Rasul tercinta mewasiatkan, agar paling tidak, kita bertobat tujuh puluh kali sehari.

Inilah rejeki yang sejati, yang berlaku di kalangan orang-orang khusus, para Nabi dan para Wali, ahli hikmah dan ahli ibadah. Rejeki bagi orang-orang awam adalah bencana dan cobaan bagi mereka. Harta kekayaan dan kekuasaan adalah ujian dari Allah semata.

Betapa anehnya kalian ini ! Hei keledai yang berjalan menuju lobang-lobang bencana ! Serangga-serangga yang mendatangi nyala api !




http://www.lidahwali.com

Jumat, 21 Oktober 2011

Terpaksa aku Menikahinya.....



Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!


Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

http://bundaiin.blogdetik.com/2011/10/07/kisah-inspirasi-untuk-para-istri-dan-suami/

Minggu, 02 Oktober 2011

perdagangan yang berkah

PERDAGANGAN YANG BERKAH

Ahmad Yasin Ibrahim

download artikel perdagangan yang berkah

Membuka Pintu Rezeki dengan Berdagang

Berdagang adalah ikhtiar. Berikhtiar dengan hati, pikiran, jerih-payah dan usaha. Ia telah mulai dikenal oleh manusia dari sejak dahulu kala. Bahkan para nabiyullah alaihimussalam pun banyak yang menjadi seorang pedagang.

Berbeda dengan kebanyakan profesi yang dijalankan manusia untuk mencari nafkah, perdagangan adalah satu jenis usaha atau ikhtiar yang memiliki banyak resiko. Ia menyita segenap potensi yang dimiliki seseorang, hingga yang sungguh-sungguh dalam berdagang maka ia akan dibukakan pintu rezeki yang lebar. Sementara yang setengah hati akan mendapati kerugian dan kesulitan.

Namun berdagang adalah salah satu ikhtiar pencarian rezeki yang dapat membuka pintu rezeki dengan mudah.


Dalam Islam, transaksi perdagangan amat dianjurkan karena ia berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bahkan agama ini mengatur dengan apik segala seluk-beluk jual beli dalam berdagang. Sehingga lewat perdagangan yang baik akan turun banyak keberkahan dan kemaslahatan, bukan hanya untuk si pedagang namun juga dapat dirasakan oleh konsumen atau pembeli.


Antharadin, Sama-Sama Senang

Perdagangan dalam Islam masuk dalam bab MUAMALAT (hubungan/transaksi sesama manusia). Kaidah yang dipakai dalam segala urusan muamalat adalah, "Semua hal dalam muamalat adalah ibahah (boleh), selagi tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya."

Lewat kaidah yang tersebut di atas, maka jenis transaksi perdagangan apapun juga dipersilakan selagi tidak bersinggungan dengan dalil-dalil dari ayat Al Qur'an atau hadits Rasulullah Saw yang melarang transaksi tersebut.

Karena ini masuk dalam bab muamalat, maka prinsipnya adalah lakukan apa saja selagi tidak merugikan orang lain atau siapapun juga.

Allah Swt & Rasulullah Saw menetapkan prinsip perdagangan yang diperbolehkan adalah Antharadin, prinsip suka sama suka atau sama-sama senang. Baik kesenangan itu dirasakan oleh pedagang atau pun pembeli.

Apabila prinsip ini didapati dalam transaksi perdagangan yang kita lakukan maka transaksi itu diperbolehkan.

Simaklah dalil-dalil berikut ini:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An Nisa [4] : 29)


إنما البيع عن تراض ولكن في بيوعكم خصالا أذكرها لكم لا تضاغنوا ولا تناجشوا ولا تحاسدوا ولا يسوم الرجل على سوم أخيه ولا يبيعن حاضر لباد والبيع عن تراض وكونوا عباد الله إخوانا

Sabda Rasulullah Saw, "Perdagangan itu harus suka sama suka (antharadin). Akan tetapi dalam perdagangan yang kalian lakukan aku dapati ada hal-hal yang kurang beres dan perlu aku sebutkan. Janganlah kalian saling benci, janganlah saling dengki. Jangan seseorang barang yang sudah ditawar oleh saudaranya. Orang kota jangan menjual langsung ke orang desa. Perdagangan itu haruslah antharadin. Maka jadilah kalian para hamba-hamba Allah yang bersaudara." HR. Ibnu Hibban


Ayat dan hadits yang baru disebutkan di atas memberikan kita gambaran singkat tentang prinsip yang diperbolehkan dalam berdagang, yaitu antharadin. Sehingga bila ini yang diterapkan maka tidak ada lagi kezaliman, kerugian, kecurangan yang dirasakan oleh manusia dalam muamalah mereka yang bernama perdagangan.

Takaran & Timbangan Adalah Kesetaraan Jangan Sampai Timpang

Kerap dalam banyak transaksi terjadi kecurangan dalam takaran maupun timbangan. Pembeli saat membeli selalu minta dilebihkan. Sedangkan penjual ketika berdagang berlaku curang dengan merubah takaran dan timbangan.

Dalam Islam kecurangan dalam takaran dan timbangan amat dikecam dan dianggap sebagai tindak merugikan. Bahkan dalam Al Qur'an pelaku-pelakunya disebut dengan Al Muthafifin. Mari kita simak bersama firman Allah Swt tentang mereka:


"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?" (QS Al Muthafifin [83]:1-6)


Simaklah ayat-ayat di atas sekali lagi, bahwa orang-orang yang berlaku curang amat dikecam oleh agama ini. Tidak seorang pun dari kita sebagai manusia yang merasa senang bila saat kita berbelanja bahwa hak kita sebagai pembeli dikurangi. Bila Anda merasakan hal itu, maka saat Anda berdagang pun tidak boleh ada kecurangan.


Di dalam Al Qur'an, Allah Swt bercerita tentang misi seorang nabi bernama Syuaib as. Kisah misi nabiyullah Syuaib As bisa Anda simak dalam QS. As Syu'ara [26] : 177-183. Di sana Anda akan dapati bahwa misi utama Syuaib adalah memperbaiki aturan yang berlaku di pasar dengan salah satu caranya adalah memperbaiki takaran dan timbangan yang sudah demikian curang dan berantakan.

Masya Allah..., hanya untuk memperbaiki takaran dan timbangan saja Allah Swt perlu untuk mengutus seorang nabi & rasul? Mungkin Anda bertanya sedemikian. Sebab Anda mungkin belum begitu mengerti betapa pentingnya takaran dan timbangan itu dalam kehidupan kita.

Pastilah Anda sudah tahu langit, matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan! Coba bayangkan bila ekosistem dunia ini rusak, timpang atau ada kekurangan. Satu saja dari hal yang saya sebut di atas berkurang, maka ekosistem alam pun akan berantakan. Demikian juga halnya dengan takaran dan timbangan. Bahkan masalah takaran & timbangan ini Allah Swt setarakan dengan benda-benda alam yang amat vital yang telah saya sebutkan di atas.

Perhatikan dengan baik ayat-ayat berikut ini:


"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (QS Ar Rahmaan [55] : 5 – 9)


Sengaja saya menggaris bawahi kalimat dalam ayat-ayat di atas. Hal itu supaya kita sadar mengapa tiba-tiba Allah Swt menyebutkan neraca dan timbangan setelah Dia Swt menyebutkan benda-benda alam yang amat vital. Itu tandanya bahwa takaran & timbangan memiliki peran vital dalam kehidupan bermasyarakat.


Sebuah kisah hikmah yang mungkin sejalan saya tuliskan berikut ini. Di dalamnya tergambarkan betapa manusia kerap kali melakukan kecurangan dalam takaran & timbangan. Bagi mereka yang jujur dan berlaku adil lagi amanah, seorang Khalifah pun memberikan apresiasi yang luar biasa untuknya.

***

Seorang ibu penjual susu meminta anak gadisnya untuk mencampur susu yang dijualnya dengan air supaya jumlahnya bertambah. Si anak menolak sambil menuturkan hadits Rasul yang berbunyi: "bukan termasuk golongan kami orang yang curang", si anak lalu juga mengingatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab r.a. telah memberi peringatan tentang urusan seperti ini. Namun si ibu menanggapi anaknya dengan berkata: "Tetapi Umar, toh tidak melihat kita?". Si gadis yang amanah ini kemudian berkata: "Memang Umar tidak melihat kita, bu. Namun Rabbnya Umar pasti melihat kita".

Kebetulan pada saat itu, Khalifah Umar r.a sedang melakukan inspeksi, beliau lewat di dekat rumah si gadis dan mendengar kata-kata yang diucapkan olehnya.

Khalifah Umar r.a. kemudian menikahkah gadis yang amanah ini dengan putranya yang bernama 'Ashim sebagai ganjaran atas kejujurannya.


Lebihkan Saat Mengukur atau Menjual

Untuk mendapatkan kebaikan dan keberkahan dalam berdagang, mungkin kiat ini bisa menjadi salah satu jurus ampuh Anda. Kiat itu adalah lebihkan ukuran atau takaran saat Anda menjual sesuatu kepada manusia.

Adapun hal ini pernah diperintahkan oleh Rasulullah Saw kepada salah seorang sahabatnya.


Dari Abu Sufyan, Suwaid bin Qais RA, ia berkata: “Saya dan Mukarramah Al Bady membawa dagangan dari Hajar, kemudian Nabi SAW datang kepada kami dan menawar beberapa celana. Saya mempunyai tukang timbang yang saya gaji, kemudian Nabi SAW. bersabda, “Timbanglah dan lebihkan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: “hadis ini hasan-shahih)


Usai menyimak hadits ini Anda mungkin bertanya apakah itu tidak merugikan dalam berdagang? Tentu saja jawabannya adalah: Lebihkan sesuai ukuran. Bukanlah lebih yang dimaksud dalam hadits ini dengan ukuran yang sesuka hati, sebab bila itu yang dilakukan pastilah menimbulkan kerugian.


Seorang pria di Jawa Timur berpesan kepada istrinya yang berjualan kain di pasar untuk melebihkan ukuran kain yang dibeli oleh orang. Dalihnya adalah khawatir kalau-kalau hak orang lain terkurangi.

Mulanya sang istri berkelit bahwa hal sedemikian akan mengakibatkan kerugian dalam usaha. Namun setelah dijalani oleh sang istri, ia pun merasakan bahwa para pelanggan merasa puas dengan kain yang mereka beli dari toko itu. Bahkan terakhir waktu, beberapa pelanggan yang sudah sering mampir ke toko itu selalu membeli kain yang mereka suka tanpa menawar sedikitpun dari harga yang disebut oleh ibu pemilik toko.

Suami dan istri itu kini semakin yakin bahwa apabila pelanggan sudah mendapatkan haknya dan merasa puas, mereka akan kembali lagi dan kembali lagi untuk kesekian kali, dan hal itu menguntungkan bisnis mereka.

Timbanglah, ukurlah.... dan lebihkan! Pasti di sana Anda akan merasakan keberkahan!


Usah Bersumpah

Hal lain untuk mendatangkan keberkahan dalam usaha atau perdagangan adalah dengan cara meninggalkan sumpah.

Sumpah dalam agama ini hanya digunakan dalam kondisi terdesak atau kepepet saja. Sementara penggunaannya untuk tujuan menarik perhatian orang dengan cara berbohong adalah perbuatan tercela.

Kerap kita dapati beberapa orang pedagang mencoba meyakinkan pembeli dengan ucapan, "Sumpah... saya beli barang tersebut tidak ada cacatnya sedikitpun!" atau kalimat seperti ini, "Sumpah demi Allah... modalnya saja gak cukup dengan uang segitu!" Padahal dia tahu bahwa apa yang ditawar oleh pembeli sudah memberikan keuntungan untuknya, namun dengan cara sumpah ia berharap meraih keuntungan yang lebih besar.

Rasulullah Saw menyikapi kebiasaan para pedagang ini dengan sebuah statmen tegas.

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ, يَقُوْلُ : (( إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ , فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Dari Abu Qatadah RA, bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW, bersabda, “Jauhilah oleh kalian dari sifat banyak bersumpah dalam jual beli, karena sumpah itu memberikan keuntungan, tetapi menghilangkan keberkahan.” (HR. Muslim).


Dalam hadits lain beliau Saw bersabda:

"Ada tiga kelompok manusia yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah. Allah juga tidak akan melihat mereka, dan tidak pula mengampuni dosa mereka bahkan mereka akan mendapat siksaan yang pedih. " Rasululah SAW. mengucapkan kalimat itu tiga kali. Kemudian Abu Dzar berkata: "Alangkah kecewa dan ruginya mereka. Wahai Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau menjawab, "Yaitu orang yang menurunkan (kainnya), orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan menggunakan sumpah palsu." (HR. Muslim).

Bekerja dengan jalan berdagang

BEKERJA DENGAN JALAN BERDAGANG

Download artikel bekerja dengan jalan berdagang

Islam melalui nas-nas al-Quran dan Sunnah, menganjurkan dengan keras supaya seseorang pergi berdagang, yang kemudian disebut mencari anugerah Allah. Sesudah itu Allah menyebut orang-orang yang pergi berdagang, diiringi dengan menyebut orang-orang yang jihad fi sabilillah. Firman Allah:

“Yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah, sedang yang lainnya berperang di jalan. Allah.” (al-Muzammil: 20)

Dalam al-Quran Allah memberikan anugerah kepada manusia dengan menyediakan jalan-jalan perdagangan, dalam dan luar negeri dengan alat-alat perhubungan laut, yang hingga kini tetap merupakan alat pengangkutan yang paling ampuh untuk perdagangan internasional. Untuk itu Allah berfirman dengan memudahkan laut dan menjalankan kapal-kapal dagang. Firman Allah:

“Engkau lihat kapal-kapal di laut yang berjalan supaya kamu dapat mencari anugerah Allah, dan supaya kamu tahu berterimakasih.” (Fathir: 12)

Kadang-kadang diiringi pula dengan melepaskan angin. Seperti firmanNya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, iaitu Dia lepaskan angin dengan membawa khabar gembira. Dan supaya Allah memberikan kepadamu dari rahmatNya dan supaya perahu-perahu (kapal-kapal) itu berjalan dengan perintahNya dan supaya kamu mencari anugerahNya dan supaya kamu berterimakasih.” (ar-Rum: 46)

Al-Quran mengulang-ulangi penyebutan nikmat dan menganjurkan untuk kiranya dapat dimanfaatkan nikmat itu, sehingga semua itu dijadikan oleh Allah sebagai salah satu tanda wujud dan kekuasaan Allah serta kebijaksanaanNya dalam mengatur falak ini. Firman Allah:

“(Kapal) yang berjalan di laut dengan membawa perbekalan yang bermanfaat bagi manusia.” (al-Baqarah: 164)

“Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah adanya kapal-kapal (perahu) yang berjalan di laut seperti gunung.” (as-Syura: 32)

Allah memberikan anugerah kepada penduduk Makkah dengan menyediakan jalan-jalan yang dapat menjadikan negeri mereka itu sebagai pusat perdagangan yang paling istimewa untuk Jaziratul Arabia. Firman Allah:

“Bukankah Kami berikan kepada mereka (penduduk Makkah) tanah haram yang aman sentosa yang dipilih untuknya buah-buahan dan tiap-tiap sesuatu sebagai suatu pemberian rezeki dari Kami.” (al-Qashash: 57)

Dengan demikian terbuktilah doa Nabi Ibrahim yang mengatakan: “Hai Tuhan. kami! Sesungguhnya aku menempatkan keluargaku di suatu lembah yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya, iaitu di dekat Baitillah-Haram. Hai Tuhan kami! Supaya mereka itu dapat menegakkan sembahyang, maka jadikanlah hati-hati manusia itu condong kepada mereka dan berilah mereka itu rezeki dari buah-buahan, supaya mereka tahu berterimakasih.” (Ibrahim: 37)

Di samping itu Allah juga telah memberikan anugrah kepada orang-orang Quraisy, iaitu dengan memudahkan perjalanan mereka dua kali musim perdagangan dalam satu tahun, ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Mereka pergi ke dua tempat tersebut dengan memperoleh keamanan sebab kelebihan mereka sebagai penjaga Ka’bah. Justru itu patutlah mereka bersyukur atas nikmat ini dengan berbakti kepada Allah semata, Tuhannya Ka’bah dan Yang mempunyai anugerah tersebut. Firman Allah:

“Kerana perlindunganNya terhadap orang-orang Quraisy iaitu dilindunginya mereka dalam bepergiannya pada musim dingin dan musim panas, maka hendaklah mereka itu berbakti kepada Tuhannya rumah ini, yang telah memberi makan mereka dari kelaparannya dan memberi keamanan mereka dari ketakutan.” (Quraisy)

Islam telah memberikan pula suatu kesempatan kepada umat Islam untuk mengadakan tukar-menukar perdagangan antara negara dan bangsa dengan seluas-luasnya dalam setiap tahun, iaitu bertepatan dengan musim pertemuan tahunan internasional, yakni pada musim haji ke Baitullah, dimana mereka itu saling berdatangan dari tempat yang jauh. Seperti difirmankan Allah:

“Mereka ada yang berjalan kaki dan ada pula yang berkendaraan unta, semua datang dari tiap-tiap perjalanan yang jauh, supaya mereka itu dapat menyaksikan apa-apa yang bermanfaat buat mereka; dan supaya mereka menyebut-nyebut asma’Allah.” (al-Haj: 27-28)

Di antara apa-apa yang bermanfaat itu, tidak diragukan lagi ialah perdagangan.

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa umat Islam pernah mengalami kesukaran berdagang pada musim haji, kerana mereka beranggapan kalau-kalau dengan berdagang dapat mengaburkan keikhlasan niat mereka dalam beribadah atau dapat mengotori kesucian ibadah mereka. Waktu itu maka turunlah ayat yang menjelaskan dan menegaskan:

“Tidak ada dosa atas kamu untuk mencari rezeki dari Tuhanmu.” (al-Baqarah: 198)

Al-Quran juga memuji orang-orang yang suka pergi ke masjid untuk bersujud kepada Allah di waktu pagi dan petang. Mereka itu dipuji dengan firmannya:

“Laki-laki yang berdagang dan jual-belinya itu tidak melupakan mereka daripada berzikrullah dan menegakkan sembahyang serta mengeluarkan zakat.” (an-Nur: 37)

Oleh kerana itu, orang-orang mu’min dalam pandangan al-Quran bukan berumahtangga di masjid, bukan pula seperti pendeta-pendeta yang mendiami gereja-gereja, tetapi orang-orang mu’min adalah manusia pekerja. Keistimewaan mereka, bahawa kesibukan duniawinya tidak memalingkan mereka dari memenuhi kewajiban agama.

Demikian sebahagian apa yang tersebut dalam al-Quran, tentang masalah perdagangan.

Adapun dalam hadis, Rasulullah s.a.w. menyerukan supaya kita berdagang. Anjuran ini garis-garis ketentuannya diperkuat dengan sabda, perbuatan dan taqrirnya. Dalam beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai berikut:

“Pedagang yang beramanat dan dapat dipercaya, akan bersama orang-orang yang mati syahid nanti di hari kiamat.” (Riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim)

“Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid.” (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan)

Kita tidak hairan kalau Rasulullah menyejajarkan kedudukan pedagang yang dapat dipercaya dengan kedudukan seorang mujahid dan orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, sebab sebagaimana kita ketahui dalam percaturan hidup, bahawa apa yang disebut jihad bukan hanya terbatas dalam medan perang semata-mata tetapi meliputi lapangan ekonomi juga.

Seorang pedagang dijanji suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta pahala yang besar nanti di akhirat kerana perdagangan itu pada umumnya diliputi oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun. Harta dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan membangkitkan untuk mencapai keuntungan yang lebih banyak lagi. Justru itu barangsiapa berdiri di atas dasar-dasar yang benar dan amanat, maka berarti dia sebagai seorang pejuang yang mencapai kemenangan dalam pertempuran melawan hawa nafsu. Justru itu pula dia akan memperoleh kedudukan sebagai mujahidin.

Urusan dagang sering menenggelamkan orang dalam angka dan menghitung-hitung modal dan keuntungan, sehingga di zaman Nabi pernah terjadi suatu peristiwa ada kafilah yang membawa perdagangan datang, padahal Nabi sedang berkhutbah sehingga para hadirin yang sedang mendengarkan khutbah itu menjadi kacau dan akhirnya mereka bubar menuju kepada kafilah tersebut. Waktu itulah kemudian turun ayat yang berbunyi sebagai berikut:

“Apabila mereka melihat suatu perdagangan atau bunyi-bunyian, mereka lari ke tempat tersebut dan engkau ditinggalkan berdiri. Oleh kerana itu katakanlah (kepada mereka) bahawa apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada bunyi-bunyian dan perdagangan itu dan Allah sebaik-baik Zat yang memberi rezeki.” (al-Jumu’ah: 11)

Oleh kerananya, barangsiapa yang mampu bertahan pada prinsip ini, disertai dengan iman yang kuat, jiwanya penuh taqwa kepada Allah dan lidahnya komat-kamit berzikrullah, maka layak dia akan bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, iaitu para nabi, shiddiqin dan syuhada’.

Dari fi’liyah (perbuatan) Rasulullah sendiri kiranya cukup bukti bagi kita untuk mengetahui sampai di mana kedudukan perdagangan itu, bahawa di samping beliau sangat memperhatikan segi-segi mental spiritual sehingga didirikannya masjid di Madinah demi untuk bertaqwa dan mencari keridhaan Allah dengan tujuan sebagai jami’ tempat beribadah, institut, lembaga da’wah dan pusat pemerintahan, maka Rasulullah memperhatikan pula segi-segi perekonomian. Untuk itu maka didirikannya pasar Islam yang langsung berorientasi pada syariat Islam, bukan pasar yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi seperti halnya pasar Qainuqa’ dulu.

Pasar Islam ini langsung diawasi oleh Rasulullah sendiri. Beliau sendiri yang mentertibkan subjek-subjeknya dan beliau pula yang langsung mengurus dengan memberi bimbingan-bimbingan dan pengarahan-pengarahan. Sehingga dengan demikian tidak ada penipuan, pengurangan timbangan, penimbunan, cukong-cukong dan lain-lain yang insya Allah hadis-hadis yang menerangkan hal itu akan kami tuturkan di bab Mu’amalat nanti dalam fasal halal dan haram tentang kehidupan secara umum bagi setiap muslim.

Dalam sejarah perjalanan para sahabat Nabi, kita dapati juga, bahawa di antara mereka itu ada yang bekerja sebagai pedagang, pertukangan, petani dan sebagainya.

Rasulullah berada di tengah-tengah mereka di mana ayat-ayat al-Quran itu selalu turun kepadanya, beliau bercakap kepada mereka dengan bahasa langit, dan Malaikat Jibril senantiasa datang kepadanya dengan membawa wahyu dari Allah. Semua sahabatnya mencintai beliau dengan tulus ikhlas, tidak seorang pun yang ingin meninggalkan beliau walaupun hanya sekejap mata.

Oleh kerana itu, maka kita jumpai seluruh sahabatnya masing-masing bekerja seperti apa yang dikerjakan Nabi, ada yang mengurus korma dan tanaman-tanaman, ada yang berusaha mencari pencarian dan perusahaan. Dan yang tidak tahu tentang ajaran Nabi, berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan kepada rekan-rekannya yang lain. Untuk itu mereka diperintahkan siapa yang mengetahui supaya menyampaikan kepada yang tidak tahu.

Sahabat Anshar pada umumnya ahli pertanian, sedang sahabat Muhajirin pada umumnya ahli dalam perdagangan dan menempa dalam pasar. Misalnya Abdurrahman bin ‘Auf seorang muhajirin pernah disodori oleh rekannya Saad bin ar-Rabi’ salah seorang Anshar separuh kekayaan dan rumahnya serta disuruhnya memilih dari salah seorang isterinya supaya dapat melindungi kehormatan kawannya itu. Abdurrahman kemudian berkata kepada Saad: Semoga Allah memberi barakah kepadamu terhadap hartamu dan isterimu, saya tidak perlu kepadanya. Selanjutnya kata Abdurrahman: Apakah di sini ada pasar yang boleh dipakai berdagang? Jawab Saad: Ya ada, iaitu pasar Bani Qainuqa’. Maka besok paginya Abdurrahman pergi ke pasar membawa keju dan samin. Dia jual-beli di sana. Begitulah seterusnya, akhirnya dia menjadi seorang pedagang muslim yang kayaraya, sampai dia meninggal, kekayaannya masih bertumpuk-tumpuk.

Abubakar juga bekerja sebagai pedagang, sehingga pada waktu akan dilantik sebagai khalifah beliau sedang bersiap-siap akan ke pasar. Begitu juga Umar, Usman dan lain-lain.