Halaman

Minggu, 02 Oktober 2011

perdagangan yang berkah

PERDAGANGAN YANG BERKAH

Ahmad Yasin Ibrahim

download artikel perdagangan yang berkah

Membuka Pintu Rezeki dengan Berdagang

Berdagang adalah ikhtiar. Berikhtiar dengan hati, pikiran, jerih-payah dan usaha. Ia telah mulai dikenal oleh manusia dari sejak dahulu kala. Bahkan para nabiyullah alaihimussalam pun banyak yang menjadi seorang pedagang.

Berbeda dengan kebanyakan profesi yang dijalankan manusia untuk mencari nafkah, perdagangan adalah satu jenis usaha atau ikhtiar yang memiliki banyak resiko. Ia menyita segenap potensi yang dimiliki seseorang, hingga yang sungguh-sungguh dalam berdagang maka ia akan dibukakan pintu rezeki yang lebar. Sementara yang setengah hati akan mendapati kerugian dan kesulitan.

Namun berdagang adalah salah satu ikhtiar pencarian rezeki yang dapat membuka pintu rezeki dengan mudah.


Dalam Islam, transaksi perdagangan amat dianjurkan karena ia berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bahkan agama ini mengatur dengan apik segala seluk-beluk jual beli dalam berdagang. Sehingga lewat perdagangan yang baik akan turun banyak keberkahan dan kemaslahatan, bukan hanya untuk si pedagang namun juga dapat dirasakan oleh konsumen atau pembeli.


Antharadin, Sama-Sama Senang

Perdagangan dalam Islam masuk dalam bab MUAMALAT (hubungan/transaksi sesama manusia). Kaidah yang dipakai dalam segala urusan muamalat adalah, "Semua hal dalam muamalat adalah ibahah (boleh), selagi tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya."

Lewat kaidah yang tersebut di atas, maka jenis transaksi perdagangan apapun juga dipersilakan selagi tidak bersinggungan dengan dalil-dalil dari ayat Al Qur'an atau hadits Rasulullah Saw yang melarang transaksi tersebut.

Karena ini masuk dalam bab muamalat, maka prinsipnya adalah lakukan apa saja selagi tidak merugikan orang lain atau siapapun juga.

Allah Swt & Rasulullah Saw menetapkan prinsip perdagangan yang diperbolehkan adalah Antharadin, prinsip suka sama suka atau sama-sama senang. Baik kesenangan itu dirasakan oleh pedagang atau pun pembeli.

Apabila prinsip ini didapati dalam transaksi perdagangan yang kita lakukan maka transaksi itu diperbolehkan.

Simaklah dalil-dalil berikut ini:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An Nisa [4] : 29)


إنما البيع عن تراض ولكن في بيوعكم خصالا أذكرها لكم لا تضاغنوا ولا تناجشوا ولا تحاسدوا ولا يسوم الرجل على سوم أخيه ولا يبيعن حاضر لباد والبيع عن تراض وكونوا عباد الله إخوانا

Sabda Rasulullah Saw, "Perdagangan itu harus suka sama suka (antharadin). Akan tetapi dalam perdagangan yang kalian lakukan aku dapati ada hal-hal yang kurang beres dan perlu aku sebutkan. Janganlah kalian saling benci, janganlah saling dengki. Jangan seseorang barang yang sudah ditawar oleh saudaranya. Orang kota jangan menjual langsung ke orang desa. Perdagangan itu haruslah antharadin. Maka jadilah kalian para hamba-hamba Allah yang bersaudara." HR. Ibnu Hibban


Ayat dan hadits yang baru disebutkan di atas memberikan kita gambaran singkat tentang prinsip yang diperbolehkan dalam berdagang, yaitu antharadin. Sehingga bila ini yang diterapkan maka tidak ada lagi kezaliman, kerugian, kecurangan yang dirasakan oleh manusia dalam muamalah mereka yang bernama perdagangan.

Takaran & Timbangan Adalah Kesetaraan Jangan Sampai Timpang

Kerap dalam banyak transaksi terjadi kecurangan dalam takaran maupun timbangan. Pembeli saat membeli selalu minta dilebihkan. Sedangkan penjual ketika berdagang berlaku curang dengan merubah takaran dan timbangan.

Dalam Islam kecurangan dalam takaran dan timbangan amat dikecam dan dianggap sebagai tindak merugikan. Bahkan dalam Al Qur'an pelaku-pelakunya disebut dengan Al Muthafifin. Mari kita simak bersama firman Allah Swt tentang mereka:


"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?" (QS Al Muthafifin [83]:1-6)


Simaklah ayat-ayat di atas sekali lagi, bahwa orang-orang yang berlaku curang amat dikecam oleh agama ini. Tidak seorang pun dari kita sebagai manusia yang merasa senang bila saat kita berbelanja bahwa hak kita sebagai pembeli dikurangi. Bila Anda merasakan hal itu, maka saat Anda berdagang pun tidak boleh ada kecurangan.


Di dalam Al Qur'an, Allah Swt bercerita tentang misi seorang nabi bernama Syuaib as. Kisah misi nabiyullah Syuaib As bisa Anda simak dalam QS. As Syu'ara [26] : 177-183. Di sana Anda akan dapati bahwa misi utama Syuaib adalah memperbaiki aturan yang berlaku di pasar dengan salah satu caranya adalah memperbaiki takaran dan timbangan yang sudah demikian curang dan berantakan.

Masya Allah..., hanya untuk memperbaiki takaran dan timbangan saja Allah Swt perlu untuk mengutus seorang nabi & rasul? Mungkin Anda bertanya sedemikian. Sebab Anda mungkin belum begitu mengerti betapa pentingnya takaran dan timbangan itu dalam kehidupan kita.

Pastilah Anda sudah tahu langit, matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan! Coba bayangkan bila ekosistem dunia ini rusak, timpang atau ada kekurangan. Satu saja dari hal yang saya sebut di atas berkurang, maka ekosistem alam pun akan berantakan. Demikian juga halnya dengan takaran dan timbangan. Bahkan masalah takaran & timbangan ini Allah Swt setarakan dengan benda-benda alam yang amat vital yang telah saya sebutkan di atas.

Perhatikan dengan baik ayat-ayat berikut ini:


"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (QS Ar Rahmaan [55] : 5 – 9)


Sengaja saya menggaris bawahi kalimat dalam ayat-ayat di atas. Hal itu supaya kita sadar mengapa tiba-tiba Allah Swt menyebutkan neraca dan timbangan setelah Dia Swt menyebutkan benda-benda alam yang amat vital. Itu tandanya bahwa takaran & timbangan memiliki peran vital dalam kehidupan bermasyarakat.


Sebuah kisah hikmah yang mungkin sejalan saya tuliskan berikut ini. Di dalamnya tergambarkan betapa manusia kerap kali melakukan kecurangan dalam takaran & timbangan. Bagi mereka yang jujur dan berlaku adil lagi amanah, seorang Khalifah pun memberikan apresiasi yang luar biasa untuknya.

***

Seorang ibu penjual susu meminta anak gadisnya untuk mencampur susu yang dijualnya dengan air supaya jumlahnya bertambah. Si anak menolak sambil menuturkan hadits Rasul yang berbunyi: "bukan termasuk golongan kami orang yang curang", si anak lalu juga mengingatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab r.a. telah memberi peringatan tentang urusan seperti ini. Namun si ibu menanggapi anaknya dengan berkata: "Tetapi Umar, toh tidak melihat kita?". Si gadis yang amanah ini kemudian berkata: "Memang Umar tidak melihat kita, bu. Namun Rabbnya Umar pasti melihat kita".

Kebetulan pada saat itu, Khalifah Umar r.a sedang melakukan inspeksi, beliau lewat di dekat rumah si gadis dan mendengar kata-kata yang diucapkan olehnya.

Khalifah Umar r.a. kemudian menikahkah gadis yang amanah ini dengan putranya yang bernama 'Ashim sebagai ganjaran atas kejujurannya.


Lebihkan Saat Mengukur atau Menjual

Untuk mendapatkan kebaikan dan keberkahan dalam berdagang, mungkin kiat ini bisa menjadi salah satu jurus ampuh Anda. Kiat itu adalah lebihkan ukuran atau takaran saat Anda menjual sesuatu kepada manusia.

Adapun hal ini pernah diperintahkan oleh Rasulullah Saw kepada salah seorang sahabatnya.


Dari Abu Sufyan, Suwaid bin Qais RA, ia berkata: “Saya dan Mukarramah Al Bady membawa dagangan dari Hajar, kemudian Nabi SAW datang kepada kami dan menawar beberapa celana. Saya mempunyai tukang timbang yang saya gaji, kemudian Nabi SAW. bersabda, “Timbanglah dan lebihkan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: “hadis ini hasan-shahih)


Usai menyimak hadits ini Anda mungkin bertanya apakah itu tidak merugikan dalam berdagang? Tentu saja jawabannya adalah: Lebihkan sesuai ukuran. Bukanlah lebih yang dimaksud dalam hadits ini dengan ukuran yang sesuka hati, sebab bila itu yang dilakukan pastilah menimbulkan kerugian.


Seorang pria di Jawa Timur berpesan kepada istrinya yang berjualan kain di pasar untuk melebihkan ukuran kain yang dibeli oleh orang. Dalihnya adalah khawatir kalau-kalau hak orang lain terkurangi.

Mulanya sang istri berkelit bahwa hal sedemikian akan mengakibatkan kerugian dalam usaha. Namun setelah dijalani oleh sang istri, ia pun merasakan bahwa para pelanggan merasa puas dengan kain yang mereka beli dari toko itu. Bahkan terakhir waktu, beberapa pelanggan yang sudah sering mampir ke toko itu selalu membeli kain yang mereka suka tanpa menawar sedikitpun dari harga yang disebut oleh ibu pemilik toko.

Suami dan istri itu kini semakin yakin bahwa apabila pelanggan sudah mendapatkan haknya dan merasa puas, mereka akan kembali lagi dan kembali lagi untuk kesekian kali, dan hal itu menguntungkan bisnis mereka.

Timbanglah, ukurlah.... dan lebihkan! Pasti di sana Anda akan merasakan keberkahan!


Usah Bersumpah

Hal lain untuk mendatangkan keberkahan dalam usaha atau perdagangan adalah dengan cara meninggalkan sumpah.

Sumpah dalam agama ini hanya digunakan dalam kondisi terdesak atau kepepet saja. Sementara penggunaannya untuk tujuan menarik perhatian orang dengan cara berbohong adalah perbuatan tercela.

Kerap kita dapati beberapa orang pedagang mencoba meyakinkan pembeli dengan ucapan, "Sumpah... saya beli barang tersebut tidak ada cacatnya sedikitpun!" atau kalimat seperti ini, "Sumpah demi Allah... modalnya saja gak cukup dengan uang segitu!" Padahal dia tahu bahwa apa yang ditawar oleh pembeli sudah memberikan keuntungan untuknya, namun dengan cara sumpah ia berharap meraih keuntungan yang lebih besar.

Rasulullah Saw menyikapi kebiasaan para pedagang ini dengan sebuah statmen tegas.

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ, يَقُوْلُ : (( إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ , فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Dari Abu Qatadah RA, bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW, bersabda, “Jauhilah oleh kalian dari sifat banyak bersumpah dalam jual beli, karena sumpah itu memberikan keuntungan, tetapi menghilangkan keberkahan.” (HR. Muslim).


Dalam hadits lain beliau Saw bersabda:

"Ada tiga kelompok manusia yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah. Allah juga tidak akan melihat mereka, dan tidak pula mengampuni dosa mereka bahkan mereka akan mendapat siksaan yang pedih. " Rasululah SAW. mengucapkan kalimat itu tiga kali. Kemudian Abu Dzar berkata: "Alangkah kecewa dan ruginya mereka. Wahai Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau menjawab, "Yaitu orang yang menurunkan (kainnya), orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan menggunakan sumpah palsu." (HR. Muslim).

Tidak ada komentar: